Pergeseran isu high politic ke arah low politic telah mengubah pandangan
juga terhadap pergeseran isu keamanan tradisional ke arah isu keamanan
non-tradisional. Berdasarkan dari “The
Origin of Threats” bahwa (1) ancaman dalam konsep keamanan tradisional selalu
dianggap datang dari negara asing dan (2) ancaman dalam konsep keamanan non
tradisional dapat berasal dari lingkungan domestik maupun internasional
(Effendi, n.d.). Sementara itu, berdasarkan “The Nature of Threats” bahwa (1) konsep keamanan tradisional
melihat ancaman selalu bersifat militer dan (2) konsep keamanan non tradisional
telah mengubah sifat ancaman menjadi lebih rumit dan kompleks dikarenakan
menyangkut aspek-aspek lain (ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup,
demokrasi, HAM, penyalahgunaan dan perdagangan narkoba, dan terorisme). (Effendi,
n.d.).
Terkait hal tersebut,
walaupun terdapat pergeseran isu keamanan tradisional, namun ASEAN telah
membuat perjanjian mengenai senjata nuklir untuk melindungi keamanan kawasan,
yaitu SEANWFZ (Southeast
East Nuclear Weapon Free Zone). Pembuatan SEANWFZ
merupakan upaya menuju perlucutan
senjata nuklir secara lengkap dan umum, serta mendorong perdamaian dan keamanan
internasional (ASEAN, 2010). SEANWFZ juga merupakan traktat yang bertujuan
untuk melindungi kawasan dari pencemaran lingkungan dan bahaya yang disebabkan
oleh sampah radio aktif dan bahan-bahan berbahaya lainnya (ASEAN, 2010). Konsep
NWFZ sebenanya pertama kali dipelopori oleh Uni Soviet pada sidang MU PBB di
tahun 1956. Hal ini berawal dari konfrontasi politik global dan perlombaan
senjata nuklir oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin.
Penggunaan senjata nuklir di Jerman Timur dan Barat, serta di negara-negara
tetangga di Eropa Tegah merupakan alasan Uni Soviet mencoba mengadakan
pembicaraan terbuka terhadap pelarangan pengunaan senjata nuklir. Namun usulan
proposal terkait hal tersebut ditolak oleh AS dan beberapa negara lainnya di
sidang PBB.
Disamping itu, untuk
isu keamanan non-tradisional, ASEAN juga membuat kerja sama terkait lingkungan
yakni ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution (AATHP). Kerja sama ini ditujukan untuk penanganan
pencemaran kabut asap lintas batas yang ditimbulkan oleh terjadinya kebakaran
hutan dan lahan (ASEAN, 2010). Perjanjian ini diawali dari kerja sama Strategic Plan of Action on Environment
1999-2004, dimana penyebabnya kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan
kerugian bagi negara lain di Asia Tenggara (Anggraini, 2015). Tindakan lanjut
dibuatlah Haze Technical Task Force
(HTTF) dan berkembang ke AATHP. Kerja sama AATHP telah ditandatangani dan
diratifikasi oleh negara-negara ASEAN, kecuali Indonesia yang belum
meratifikasi AATHP hingga tahun 2004.
Sikap
Indonesia terhadap SEANWFZ
Mengenai pemanfaatan
energi nuklir di Indonesia telah diatur dalam UU Keteneganukliran nomor 10 tahun 1997 yang disahkan oleh DPR
pada 19 Februari 1997 yang lalu. Dalam UU tersebut dicantumkan tujuan
pengawasan pemanfaatan nuklir yang antara lain memelihara tertib hukum dalam
pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir dan mencegah terjadinya perubahan tujuan
pemanfaatan energi nuklir.20 Berkaitan dengan persenjataan nuklir, pemerintah
telah meratifikasi sejumlah Konvensi dan Perjanjian internasional serta
menerbitkan sejumlah peraturan. Indonesia sudah meratifikasi Traktat NPT dengan
UU 8/1978, dan di tingkat ASEAN, Indonesia sudah meratifikasi Treaty on the
Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ). Selain itu, Indonesia
merupakan negara penandatangan dari Comprehensive
Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) 1996. Selain itu ada beberapa peraturan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah yang berhubungan dengan pemanfaatan tenaga
nuklir untuk tujuan damai, misalnya tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap
Pemanfaatan Radiasi Pengion (PP 63/2000); Perizinan Pemanfaatan tenaga nuklir
(PP 64/2000); Keselamatan Pengangkutan Radioaktif (PP 26/2002) dan Pengelolaan
Limbah Radioaktif (PP27/2002); Perizinan Reaktor Nuklir (PP 43/2006) dan
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radiasi (PP 33/2007).
Oleh karena itu, jelas
bahwa Indonesia mendukung perlucutan atau pemusnahan senjata nuklir baik di
lingkup internasional maupun regional. Di sisi lain, Indonesia mengijinkan
pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai. Dengan beberapa ketentuan yang
ada tersebut maka pemanfaatan energi nuklir harus dilakukan secara selamat dan
aman yaitu harus ada ijin pemanfaatan (pasal 17). Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN) harus memastikan bahwa pemegang ijin mematuhi semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak melanggar ‘dokumen’ laporan analisis
keselamatan (lak), PJK; Amdal dan prosedur kerja (juklak). Dalam menjalankan
tugasnya BAPETEN mempergunakan prinsip ‘Trust
but Verify’ yang mencakup dua kegiatan yaitu pertama audit artinya
memeriksa kelengkapan kebenaran atau kesesuaian dokumen dengan peraturan dan
ketentuan atau persyaratan yang telah ditetapkan, dan kedua, verifikasi yang
berarti BAPETEN memeriksa kesesuaian pelaksanaan di lapangan dengan dokumen yang
ada dan peraturan-peraturan perundang-undangan, spektek, lak, dan amdal,
prosedur, serta persyaratan kondisi ijin.
Sikap
Indonesia terhadap AATHP Sebelum tahun 2014
Peristiwa kebakaran
hutan yang signifikan pengaruhnya terjadi tahun 1997/1998 dan penyebabnya cukup
beragam di Indonesia (wilayah Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan). Di
tahun-tahun berikutnya, walaupun kebakaran hutan dan lahan tidak separah tahun
1997, namun angka hotspot setiap tahunnya tetap menjadi perhatian karena memicu
pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar. Kerugian dari
kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 hingga 2006, antara lain Sumatera mencapai
US$ 7,8 milyar dan Kalimantan mencapai US$ 5,8 milyar (Koesrianti, n.d.). Malaysia
yang juga terkena mengalami kerugian US$ 300 juta di sektor industri dan
pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di
sector pariwisata (Koesrianti, n.d.).
ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi internasional
di kawasan Asia Tenggara dan wadah untuk para pihak bernaung secara
internasional memiliki sebuah perjanjian internasional yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP). Namun, di sisi lain karena tidak meratifikasinya Indonesia terhadap
perjanjian ini menjadikan Malaysia dan Singapura tidak puas atas keputusan
Indonesia. Sebenarnya selain AATHP, dalam
dunia internasional, pencemaran udara akibat kebakaran hutan
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu
prinsip adalah “Sic utere tuo ut alienum
non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau
mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, dan prinsip
good neighbourliness(Koesrianti,
n.d.). Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu
negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum
internasional untuk perlindungan lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition of abuse of rights, the duty to prevent principle, the
duty to inform principle, the duty to
negotiate and cooperate principle, dan intergenerational
equity principle (Koesrianti, n.d.). Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat
menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap negara yang
telah melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Menurut hukum
internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara
lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak
negatif terhadap negara-negara tetangga. Atas dasar inilah, Indonesia tidak
bisa seutuhnya menyetujui atau meratifikasi perjanjian AATHP. Kasus kebakaran
hutan di Indonesia terlalu kompleks dan hampir terjadi setiap tahun di musim
kemarau. Jika Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut, otomatis Indonesia
harus siap menerima konsekuensi atau resiko terhadap hukum internasional yang
berlaku.
Referensi:
Anggraini, Dwi Putri. (2015). Analisis
Kebijakan Indonesia Meratifikasi ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution (AATHP). 13 April 2016
http://www.slideshare.net/dwiecooltreegonebeewidi/analisis-kebijakan-indonesia-meratifikasi-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution
ASEAN. (2010). ASEAN Selayang Pandang,
Edisi Ke-19. 10 April 2016.
http://www.kemlu.go.id/Documents/Tentang%20ASEAN/Buku%20Ayo%20Kita%20Kenali%20ASEAN.pdf
Effendi, Tony Dian. (n.d.). Non Tradisional Security dan Human Security dalam Praktik Demokrasi di
Indonesia. 10 April 2016
http://tonnydian.staff.umm.ac.id/files/2012/09/reinventing-HS-in-Indonesian-Democracy-TONNY.pdf
Koesrianti. (n.d.). Pengaturan Hukum Internasional tentang Senjata Nuklir. 10 April
2016
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18651&val=1156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar