LAPORAN FAILED STATE INDEX: MYANMAR MENDUDUKI PERINGKAT PERTAMA SE-ASIA TENGGARA (VERSI 2) - GHEAZINE

GHEAZINE

KREASI DAN BERITA BUKANLAH HAL BIASA

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 07 September 2016

LAPORAN FAILED STATE INDEX: MYANMAR MENDUDUKI PERINGKAT PERTAMA SE-ASIA TENGGARA (VERSI 2)

Laporan Failed State Index: Myanmar Menduduki Peringkat Pertama Se-Asia Tenggara (Versi 2)





             The Fund For Peace atau yang lebih dikenal dengan FFP merupakan organisasi yang bekerja dengan melakukan penelitian guna mencegah konflik dan kekerasan, serta mempromosikan keamanan yang berkelanjutan (global.fundforpeace.org, n.d.). FFP pada tahun 2005 mempublikasikan Failed State Index atau FSI. FSI dibuat untuk mempermudah penilaian negara-negara di dunia yang termasuk ke dalam negara lemah atau gagal. Negara-negara yang terindikasi lemah atau gagal ini akan menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dikarenakan, negara lemah atau gagal memiliki ketidakstabilan politik, ekonomi, atau bahkan keamanannya. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi politik, ekonomi, dan bahkan keamanan negara lain juga.

            Pada tahun 2012 lalu, berita mengenai status Indonesia sebagai negara gagal menjadi sorotan utama media di Indonesia. Menurut FFP dalam laporan Failed State Index (FSI) tahun 2012, Indonesia berada di peringkat 63 di antara 177 negara di dunia dan di peringkat ke 6 se-Asia Tenggara.  Berdasarkan skalanya di tahun 2012, Indonesia dinyatakan berstatus Warning dengan skor 80,60. Penentuan status tersebut dalam FFP dibagi ke dalam empat skala, antara lain Alert (skor 90-120), Warning (skor 60-90), Stable (skor 30-60) dan Sustainable (10-30). Dari skala itu menunjukkan bahwa semakin besar skor yang di dapat suatu negara, maka negara tersebut beresiko berstatus negara gagal.

            Status Warning Indonesia sebagai negara beresiko menjadi negara gagal, sebenarnya dalam lingkup ASEAN termasuk lebih baik dibandingkan negara Myanmar yang berada di posisi pertama atau tertinggi se-Asia Tenggara. Laporan FSI dari FFP juga menyatakan bahwa Myanmar berstatus Alert, dengan skor 96,2 dan peringkat ke-21 se-Dunia di tahun 2012. Posisi Myanmar sebagai negara dengan status Alert telah didapat dari awal rilis FSI di tahun 2005 (lihat tabel 1). Dari tahun 2005 hingga tahun 2015, Myanmar bahkan tetap berada di posisi Alertnya. Dari laporan FSI tersebut, Myanmar dinyatakan sebagai salah satu negara dengan resiko paling tinggi dinyatakan sebagai negara gagal. Pada tahun 2015, FFP merubah FSI (Failed State Index) menjadi Fragile State Index. Sehingga dalam hal ini, tidak ada negara yang dinyatakan sebagai negara gagal, namun beresiko menjadi negara gagal. Oleh karena itu, di kawasan Asia Tenggara, Myanmar memiliki resiko paling tinggi menjadi negara gagal dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan tersebut.  

Tabel 1. Peringkat dan Skor FSI Negara-Negara di Asia Tenggara Tahun 2011-2014
Rank/Score
2011
2012
2013
2014
Myanmar
18/98,3
21/96,2
26/94,6
24/94,3
Timor-Leste
23/94,9
28/92,7
32/91,5
31/91,0
Cambodia
38/99,5
37/88,7
41/88,0
40/88,5
Laos
4686,7
48/85,5
58/83,7
56/84,3
Philippines
51/85,0
56/83,2
59/82,8
52/85,3
Indonesia
64/81,6
63/80,6
76/78,2
82/76,8
Thailand
79/78,3
84/77,0
90/75,1
80/77,0
Vietnam
88/76,1
96/74,0
97/73,1
98/72,7
Malaysia
112/68,7
11068,5
116/66,1
117/66,2
Brunei
122/65,8
123/64,1
123/63,2
123/63,6
Singapore
157/35,1
157,35,6
158/34,0
158,35,9
Sumber: The Fund For Peace (2011; 2012; 2013; 2014)

            Kondisi status Alert Myanmar dalam FSI disebabkan salah satunya adalah karena kasus Rohingya. Ini berawal dari status kewarganegaraan dari etnis minoritas Rohingya. Myanmar tidak mengakui dan tidak memberikan status kewarganegaraan bagi Rohingya, serta menganggap Rohingya sebagai imigran gelap di Myanmar. Kewarganegaraan etnis Rohingya yang tidak diakui Myanmar dikarenakan etnis ini belum ada sebelum kemerdekaan Myanmar di tahun 1948 (Waluyo, 2013). Hingga di tahun 2012 dalam kepemimpinan Thein Sein, Myanmar tetap tidak akan memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Kemudian penyebab status Alert Myanmar juga karena diskriminasi agama antara agama muslim Rohingya dan agama Budha Rakhine.

            Kasus Rohingya mengalami puncaknya ketika terjadi peristiwa perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe tahun 2012. Dalam penangkapan pelaku, tertangkap tiga orang dan dua diantaranya adalah etnis Rohingya. Walaupun pelakunya telah ditangkap dan diadili, namun karena dua orang pelakunya berasal dari Rohinya sehingga menyebabkan kerusuhan di negara bagian Rakhine. Kerusuhan ini meningkat menjadi bentrokan mematikan antara umat muslim Rohingya dan umat Budha Rkahine, hingga pengusiran rakyat Rohingya oleh masyarakat Rakhine dari Rakhine. Di tahun 2012, terhitung 1,1 juta warga Rohingya tidak mempunyai kewarganegaraan dan 140 ribu diantaranya mencari pengungsian akibat bentrokan yang terjadi antara kedua agama (Wahyudi, 2015).

            Ketegangan agama antara Islam Rohingya dan Budha Rakhine terjadi setelah pemerintah semi-militer Myanmar memimpin sejak tahun 2011. Akibat ketegangan kedua agama tersebut, sekitar 140 ribu Rohingya mengungsi di kamp-kamp kumuh, sementara ribuan lainnya telah melarikan diri dengan mencari suaka ke negara tetangga (Indonesia, Malaysia dan Thailand). Kerusuhan anti-Muslim Rohingya ini kemudian menyebar ke pusat Myanmar. Hal ini, didorong oleh biksu-biksu nasionalis Buddha yang meyakinkan bahwa Islam menggerus umat Buddha. Mereka juga memboikot bisnis yang dilakukan oleh Muslim dan melarang pernikahan antar-agama (Aguste, 2015).

            Permasalahan Myanmar ini menjadi perhatian bagi dunia internasional. Terkait dengan negara lemat dan gagal yang memiliki ketidakstabilan politik, ekonomi, ataupun kemanannya akan mempengaruhi negara-negara lainnya. Hal ini yang dirasakan negara-negara tetangga (Indonesia, Malaysia dan Thailand) akibat dari pencarian suaka oleh Rohingya. ASEAN sebagai penjamin kestabilan politik di kawasan, hanya dapat berperan membantu menyelesaikan permasalahan pengungsi Rohingya yang mencari suaka di beberapa negara di ASEAN, diantaranya Indonesia, Malaysia, dan Thailand.. Prinsip non-interference ASEAN menyebabkan ASEAN tidak memiliki instrumen untuk mengatasi eksodus imigran yang sebagian besar datang dari salah satu negara anggota ASEAN, Myanmar. Namun begitu, untuk pertama kalinya permasalahan hak asasi manusia di Myanmar, terutama soal penderitaan warga minoritas Rohingya dibahas di Dewan Keamanan PBB (Denny, 2015).

            Dari penjelasan emnegania kasus Rohingya di Myanmar, terdapat tiga poin besar yang terkait status Alert Myanmar. Pertama, permasalahan Rohingya merupakan salah satu penyumbang skor atau poin terbesar dari bidang politik dan sosial di negara Myanmar. Dari laporan FSI, indikator politik Myanmar di tahun 2012-2014 memiliki nilai antara 6-8 poin, dimana merupakan angka yang besar yang menjadi permasalahan utama di Myanmar (The Fund For Peace, 2012; 2013; 2014). Kedua, Myanmar yang tergolong ke dalam negara yang beresiko menjadi negara gagal telah menjadi perhatian dunia internasional karena pencarian suaka pengungsi Rohingya ke beberapa negara di Asia Tenggara. Hal ini juga dikhawatirkan bahwa permasalahan akan berlangsung lama dan mempengaruhi politik dan keamanan negara lain. Terakhir, Myanmar yang berada di posisi tertinggi se-Asia Tenggara dalam laporan FSI, perlu mendapat perhatian karena ketidakstabilan politik di Myanmar dibiarkan akan berakibat pada ketidakstabilan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya ASEAN.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
The Fund For Peace. (2010). The Failed State Index 2010. Washington D.C.: The Fund For Peace
The Fund For Peace. (2011). The Failed State Index 2010. Washington D.C.: The Fund For Peace
The Fund For Peace. (2012). The Failed State Index 2010. Washington D.C.: The Fund For Peace
The Fund For Peace. (2013). The Failed State Index 2010. Washington D.C.: The Fund For Peace

Jurnal:
Waluyo, Tri Joko. (2013, Februari). Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar. Jurnal Transnasional Vol 4
________. (n.d). About The Fund For Peace. 20 Juni 2016.
http://global.fundforpeace.org/aboutus

Sumber Lain:
Agestu, Ike. (2015, Juni). Ketegangan Agama di Myanmar Diduga Meningkat Jelang Pemilu. 20 Juni 2016
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/inas/lain%20lain/berita%20myanmar/Ketegangan%20Agama%20di%20Myanmar%20Diduga%20Meningkat%20Jelang%20Pemilu.html
Armandhanu, Denny.  (2015, Mei). Untuk Pertama Kali Isu Rohingya Dibahas di DK PBB. 20 Juni 2016
file:///C:/Documents%20and%20Settings/Owner/My%20Documents/inas/lain%20lain/berita%20myanmar/Untuk%20Pertama%20Kali%20Isu%20Rohingya%20Dibahas%20di%20DK%20PBB.html
Wahyudi, Eky. (2015, Mei). Angkatan Laut Myanmar Temukan 200 Imigran Bangladesh. 20 Juni 2016
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150522174507-106-55103/angkatan-laut-myanmar-temukan-200-imigran-bangladesh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages