ANALISIS TEORI KETERGANTUNGAN DALAM LINGKUP HUBUNGAN INTERNASIONAL DI KAWASAN - GHEAZINE

GHEAZINE

KREASI DAN BERITA BUKANLAH HAL BIASA

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 07 September 2016

ANALISIS TEORI KETERGANTUNGAN DALAM LINGKUP HUBUNGAN INTERNASIONAL DI KAWASAN


Pada masa Perang Dingin, terjadi perebutan dan pembagian antara dua kekuasaan di dunia antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua Negara tersebut menawarkan ideologi dan program-program kebijakan untuk negara-negara dunia ketiga, seperti di kawasan Eropa, Amerika Latin, Asia, dan lain sebagainya. Dunia pada saat itu terbagi menjadi dua pandangan/ideologi, yakni ideologi Komunis-Sosialis (Uni Soviet) dan ideologi Liberalis-Kapitalis (Amerika Serikat). Walaupun di Asia Tenggara terbentuk gerakan non-blok, namun tidak dielakkan bahwa masing-masing negara tersebut secara tidak langsung memihak salah satu dari dua penguasa dunia saati itu. Pasca Perang Dunia II, telah menyisakan instabilitas ekonomi, politik, dan segala sektor tidak hanya di Eropa namun juga bagi negara-negara bekas jajahan (imperialis dan kolonial). Amerika Serikat dan Uni Soviet yang semakin maju pasca Perang Dunia II, menjadikan kedua Negara ini poros/kutub bagi negara-negara di dunia.  Dapat dikatakan pula, ini menjadi awal atau faktor mengapa beberapa kawasan di dunia mengalami ketergantungan terhadap negara-negara yang memiliki kekuasaan, stabilitas politik-ekonomi, dan ideologi yang kuat.
Terkait dengan Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memberikan insentif (ekonomi, militer, dll) dan berbagai model pembangunan, ternyata telah menimbulkan ketergantungan bagi negara-negara dunia ketiga, khususnya, dalam sektor politik maupun ekonomi. Teori dependensia itu sendiri lahir dari kegagalan program pembangunan yang dibuat Amerika Serikat untuk Amerika Latin, yakni program United Nation Economic Commission for Latin America (ECLA). Dalam teori dependensi ini, ketergantungan yang biasa terjadi adalah ketergantungan ekonomi, dimana Negara dunia ketiga atau negara dependen berusaha bersaing dengan negara maju/negara dominan dalam meningkatkan perekonomian di sector industrinya. Oleh karena persaingan industri, dimana negara dominan pasti lebih unggul daripada negara dependen, negara-negara dependen menjadi ketergantungan dari pemberian insentif investasi dan teknologi dari negara dominan. Bahkan ketergantungan akan model pembangunan atau program kebijakan yang diberikan oleh negara dominan karena utang luar negeri atau dikarenakan keinginan negara dependen itu sendiri (adopsi kebijakan ekonomi).
Namun dalam implementasinya, perekonomian negara-negara dependen tidak dapat berkembang secara signifikan atau bahkan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh eksploitasi oleh negara dominan ke negara dependen. Negara dependen yang memiliki SDM ataupun SDA (atau bahkan keduanya) menjadi sasaran utama negara dominan untuk mendapatka keuntungan optimalnya. Menurut Steans dan Pettiford (2009) bahwa struktur perekonomian dunia telah menguntungkan negara-negara yang telah maju dan memiskinkan (mengeksploitasi) negara-negara berkembang. Inilah alasan dependensi merupakan hal yang terlihat lebih bersifat negatif atau merugikan bagi negara-negara yang tergantung dengan negara-negara dominan. Menurut Deliarnov (2006), hubungan ketergantungan yang asimetris ditujukkan oleh hubungan antara pihak-pihak yang tidak seimbang, disebabkan karena pembangunan daerah satelit (negara dependen) tergantung pada pembangunan metropolis (Negara dominan), dan disebabkan karena negara-negara dominan/metropolis memliki kekuasaan atas jalannya pembangunan di daerah satelit atau sebaliknya.


Ketergantungan dengan AS dan Tiongkok terkait Prinsip Non Intervensi ASEAN
ASEAN dalam perkembangannya menuju kerjasama yang lebih intensif lagi, telah membuka peluang bagi masing-masing negara untuk bersaing dan berusaha menjaga stabilitas kawasan ASEAN. Dalam menjaga stabilitas kawasan ASEAN itu sendiri, telah dilakukan dengan melakukan beberapa kesepakatan dan kerjasama. Namun, implementasinya, prinsip non-intervensi yang diterapkan ASEAN menghambat pencapaian tersebut. Dari prinsip-prinsip utama dalam ASEAN terkait dengan prinsip non-intervensi dalam hukum internasional. Prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-intervensi diatur dalam Piagam PBB Pasal 2(1) yang berbunyi (Herjuno, 2010):
The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members”.

Pasal 2 (4) (Herjuno, 2010):
All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations”.

Pasal 2 (7) (Herjuno, 2010):
Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present charter, but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII”.

Atas dasar inilah yang menjadikan menjaga stabilitas ASEAN memiliki tantangannya sendiri. Disamping itu, prinsip non-intervensi ini telah menguntungkan dalam melindungi kepentingan ASEAN. Pada kasus HAM di Myanmar, Amerika Serikat (AS) yang mencoba mengintervensi ASEAN melalui kasus HAM. Tekanan AS terkait kasus Myanmar merupakan hal yang menjadi pertimbangan negara-negara ASEAN dalam merevisi prinsip non-intervensi mereka. Thailand dan Filipina yang secara politik-ekonominya tergantung dengan AS, berada diposisi merekomendasikan dan menyetujui constructive engagement,. Namun di sisi lain, Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada saat itu menolak adanya konsep tersebut. Hal ini dikarenakan, tekanan atau kritikan AS terhadap kasus Myanmar yang dinilai memiliki kepentingan nasional. Dapat dikatakan demikian, karena prinsip non-intervensi sendiri diadopsi dari negara-negara maju seperti AS, namun kenyataannya AS juga yang melanggar. Sebenarnya tekanan ini tidak hanya dilakukan oleh AS, namun juga oleh Jepang dan Uni Eropa.
Walaupun pada perjalanannya konsep constructive engagement mulai diterima oleh ASEAN, namun tidak terlalu berdampak langsung bagi Myanmar. Di lain sisi, tekanan dari AS, Jepang, dan Uni Eropa telah membuka kemungkinan adanya peluang constructive engagement, namun posisi Tiongkok meningkatkan eksistensi konsep non-intervensi karena intensitas kerjasama Tiongkok dengan ASEAN menjadikan peningkatan perekonomian ASEAN dibanding dengan Amerika Serikat (Herlina, 2011). Mengapa demikian? Dikarenakan negara-negara yang merasa tidak mau bergantung dengan AS dari segi politik-ekonomi mencoba untuk berpindah haluan, sehingga tidak ada yang mengganggu stabilitas regional ASEAN. Hal ini memungkinkan tekanan AS tidak terlalu berpengaruh pada pengaturan ASEAN itu sendiri. Namun, ketergantungan berpindah dari AS ke Tiongkok.
Menurut Chilcote (2007), hubungan negara-negara dependen tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dalam struktur internal dan hubungan-hubungan eksternalnya. Struktur ketergantungan yang bertambah dalam, membawa negara-negara dependen pada keterbelakangan, dan memperburuk permasalahan masyarakat ketika negara-negara tersebut mengikuti suatu struktur internal dan internasional yang dipengaruhi oleh peran perusahaan-perusahaan multinasionaal maupun pasar-pasar komoditas dan modal internasional (Chilcote, 2007). Itulah yang dilakukan beberapa negara ASEAN untuk menghindari ketergantungan politik dengan AS, agar stabilitas regional tetap terjaga tanpa intervensi dari luar yang memiliki kepentingannya sendiri.

Teori Ketergantungan dalam Ranah Hubungan Internasional di Kawasan
Dari penjelasan teori ketergantungan tersebut, penulis sepakat dengan pandangan teori dalam melihat adanya hubungan/kerjasama yang asimetris atau merugikan antara negara dependen dengan dengan negara dominan. Teori ini juga menjelaskan solusi dalam mengurangi ketergantungan dengan negara maju/negara dominan yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Walaupun dalam kasus ASEAN menengenai prinsip intervensi, dimana ketergantungan berpindah dari AS ke Tiongkok. Namun, dalam hal ini, ASEAN berusaha tidak bergantung kepada negara dominan yang merugikan atau telah mencoba mempengaruhi stabilitas ASEAN.

Referensi:
Chilcote, Ronald H. (2007). Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Deliarnov. (2006).  Ekonomi Politik. Pekanbaru: Erlangga
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. (2009). Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Halina. (2011). Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN, Multiversa: Journal of International Studies, Vol.1 no.1 

Herjuno, Muhammad. (2010). Pelaksanaan Prinsip Non-Iintervensi Di ASEAN: Studi Kasus Myanmar. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages