ASEAN Nuclear Weapon – Free Zone (NWFZ) dan Isu Keamanan Non-Tradisional (Studi Kasus Sikap Indonesia terhadap SEANWFZ dan AATHP) - GHEAZINE

GHEAZINE

KREASI DAN BERITA BUKANLAH HAL BIASA

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 07 September 2016

ASEAN Nuclear Weapon – Free Zone (NWFZ) dan Isu Keamanan Non-Tradisional (Studi Kasus Sikap Indonesia terhadap SEANWFZ dan AATHP)


Pergeseran isu high politic ke arah low politic telah mengubah pandangan juga terhadap pergeseran isu keamanan tradisional ke arah isu keamanan non-tradisional. Berdasarkan dari “The Origin of Threats” bahwa (1) ancaman dalam konsep keamanan tradisional selalu dianggap datang dari negara asing dan (2) ancaman dalam konsep keamanan non tradisional dapat berasal dari lingkungan domestik maupun internasional (Effendi, n.d.). Sementara itu, berdasarkan “The Nature of Threats” bahwa (1) konsep keamanan tradisional melihat ancaman selalu bersifat militer dan (2) konsep keamanan non tradisional telah mengubah sifat ancaman menjadi lebih rumit dan kompleks dikarenakan menyangkut aspek-aspek lain (ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, demokrasi, HAM, penyalahgunaan dan perdagangan narkoba, dan terorisme). (Effendi, n.d.).
Terkait hal tersebut, walaupun terdapat pergeseran isu keamanan tradisional, namun ASEAN telah membuat perjanjian mengenai senjata nuklir untuk melindungi keamanan kawasan, yaitu SEANWFZ (Southeast East Nuclear Weapon Free Zone). Pembuatan SEANWFZ merupakan  upaya menuju perlucutan senjata nuklir secara lengkap dan umum, serta mendorong perdamaian dan keamanan internasional (ASEAN, 2010). SEANWFZ juga merupakan traktat yang bertujuan untuk melindungi kawasan dari pencemaran lingkungan dan bahaya yang disebabkan oleh sampah radio aktif dan bahan-bahan berbahaya lainnya (ASEAN, 2010). Konsep NWFZ sebenanya pertama kali dipelopori oleh Uni Soviet pada sidang MU PBB di tahun 1956. Hal ini berawal dari konfrontasi politik global dan perlombaan senjata nuklir oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin. Penggunaan senjata nuklir di Jerman Timur dan Barat, serta di negara-negara tetangga di Eropa Tegah merupakan alasan Uni Soviet mencoba mengadakan pembicaraan terbuka terhadap pelarangan pengunaan senjata nuklir. Namun usulan proposal terkait hal tersebut ditolak oleh AS dan beberapa negara lainnya di sidang PBB.
Disamping itu, untuk isu keamanan non-tradisional, ASEAN juga membuat kerja sama terkait lingkungan yakni ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Kerja sama ini ditujukan untuk penanganan pencemaran kabut asap lintas batas yang ditimbulkan oleh terjadinya kebakaran hutan dan lahan (ASEAN, 2010).  Perjanjian ini diawali dari kerja sama Strategic Plan of Action on Environment 1999-2004, dimana penyebabnya kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kerugian bagi negara lain di Asia Tenggara (Anggraini, 2015). Tindakan lanjut dibuatlah Haze Technical Task Force (HTTF) dan berkembang ke AATHP. Kerja sama AATHP telah ditandatangani dan diratifikasi oleh negara-negara ASEAN, kecuali Indonesia yang belum meratifikasi AATHP hingga tahun 2004.

Sikap Indonesia terhadap SEANWFZ
Mengenai pemanfaatan energi nuklir di Indonesia telah diatur dalam UU Keteneganukliran  nomor 10 tahun 1997 yang disahkan oleh DPR pada 19 Februari 1997 yang lalu. Dalam UU tersebut dicantumkan tujuan pengawasan pemanfaatan nuklir yang antara lain memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir dan mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan energi nuklir.20 Berkaitan dengan persenjataan nuklir, pemerintah telah meratifikasi sejumlah Konvensi dan Perjanjian internasional serta menerbitkan sejumlah peraturan. Indonesia sudah meratifikasi Traktat NPT dengan UU 8/1978, dan di tingkat ASEAN, Indonesia sudah meratifikasi Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ). Selain itu, Indonesia merupakan negara penandatangan dari Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) 1996. Selain itu ada beberapa peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang berhubungan dengan pemanfaatan tenaga nuklir untuk tujuan damai, misalnya tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (PP 63/2000); Perizinan Pemanfaatan tenaga nuklir (PP 64/2000); Keselamatan Pengangkutan Radioaktif (PP 26/2002) dan Pengelolaan Limbah Radioaktif (PP27/2002); Perizinan Reaktor Nuklir (PP 43/2006) dan Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radiasi (PP 33/2007).
Oleh karena itu, jelas bahwa Indonesia mendukung perlucutan atau pemusnahan senjata nuklir baik di lingkup internasional maupun regional. Di sisi lain, Indonesia mengijinkan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai. Dengan beberapa ketentuan yang ada tersebut maka pemanfaatan energi nuklir harus dilakukan secara selamat dan aman yaitu harus ada ijin pemanfaatan (pasal 17). Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) harus memastikan bahwa pemegang ijin mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak melanggar ‘dokumen’ laporan analisis keselamatan (lak), PJK; Amdal dan prosedur kerja (juklak). Dalam menjalankan tugasnya BAPETEN mempergunakan prinsip ‘Trust but Verify’ yang mencakup dua kegiatan yaitu pertama audit artinya memeriksa kelengkapan kebenaran atau kesesuaian dokumen dengan peraturan dan ketentuan atau persyaratan yang telah ditetapkan, dan kedua, verifikasi yang berarti BAPETEN memeriksa kesesuaian pelaksanaan di lapangan dengan dokumen yang ada dan peraturan-peraturan perundang-undangan, spektek, lak, dan amdal, prosedur, serta persyaratan kondisi ijin.

Sikap Indonesia terhadap AATHP Sebelum tahun 2014
Peristiwa kebakaran hutan yang signifikan pengaruhnya terjadi tahun 1997/1998 dan penyebabnya cukup beragam di Indonesia (wilayah Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan). Di tahun-tahun berikutnya, walaupun kebakaran hutan dan lahan tidak separah tahun 1997, namun angka hotspot setiap tahunnya tetap menjadi perhatian karena memicu pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar. Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 hingga 2006, antara lain Sumatera mencapai US$ 7,8 milyar dan Kalimantan mencapai US$ 5,8 milyar (Koesrianti, n.d.). Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian US$ 300 juta di sektor industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata (Koesrianti, n.d.).
ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara dan wadah untuk para pihak bernaung secara internasional memiliki sebuah perjanjian internasional yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Namun, di sisi lain karena tidak meratifikasinya Indonesia terhadap perjanjian ini menjadikan Malaysia dan Singapura tidak puas atas keputusan Indonesia. Sebenarnya selain AATHP, dalam  dunia internasional, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip adalah “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, dan prinsip good neighbourliness(Koesrianti, n.d.). Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional untuk perlindungan lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition of abuse of rights, the duty to prevent principle, the duty to inform principle, the duty to negotiate and cooperate principle, dan intergenerational equity principle (Koesrianti, n.d.).  Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam  hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak negatif terhadap negara-negara tetangga. Atas dasar inilah, Indonesia tidak bisa seutuhnya menyetujui atau meratifikasi perjanjian AATHP. Kasus kebakaran hutan di Indonesia terlalu kompleks dan hampir terjadi setiap tahun di musim kemarau. Jika Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut, otomatis Indonesia harus siap menerima konsekuensi atau resiko terhadap hukum internasional yang berlaku.

Referensi:
Anggraini, Dwi Putri. (2015).  Analisis Kebijakan Indonesia Meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). 13 April 2016
http://www.slideshare.net/dwiecooltreegonebeewidi/analisis-kebijakan-indonesia-meratifikasi-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution
ASEAN. (2010). ASEAN Selayang Pandang, Edisi Ke-19. 10 April 2016.
http://www.kemlu.go.id/Documents/Tentang%20ASEAN/Buku%20Ayo%20Kita%20Kenali%20ASEAN.pdf
Effendi, Tony Dian. (n.d.). Non Tradisional Security dan Human Security dalam Praktik Demokrasi di Indonesia. 10 April 2016
http://tonnydian.staff.umm.ac.id/files/2012/09/reinventing-HS-in-Indonesian-Democracy-TONNY.pdf
Koesrianti. (n.d.). Pengaturan Hukum Internasional tentang Senjata Nuklir. 10 April 2016

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18651&val=1156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages