DINAMIKA HUBUNGAN TIONGKOK DAN AMERIKA SERIKAT : STUDI KASUS DIPLOMASI PING PONG DAN PERISTIWA TIANANMEN (1972-1989) - GHEAZINE

GHEAZINE

KREASI DAN BERITA BUKANLAH HAL BIASA

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 07 September 2016

DINAMIKA HUBUNGAN TIONGKOK DAN AMERIKA SERIKAT : STUDI KASUS DIPLOMASI PING PONG DAN PERISTIWA TIANANMEN (1972-1989)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pada masa pemerintahan Mao Zedong dan masa pemerintahan Deng Xiaoping merupakan masa periode terjadinya Perang Dingin atau Cold War yang berlangsung sekitar tahun 1948-1991. Perang Dingin merupakan perang ideologi dan kekuasaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dimana  Amerika Serikat dengan liberalis-kapitalisme dan  Uni Soviet dengan sosialis-komunis, telah melahirkan dua blok kekuatan ekonomi dan politik yang mempengaruhi arah politik negara-negara di dunia (Winarno, 2005). Salah satu negara yang terkena dampaknya adalah Tiongkok, dimana arah politiknya mengalami perubahan dari Uni Soviet ke Amerika Serikat pada masa Perang Dingin,
Pengaruh ideologi komunis-sosialis dari Uni Soviet telah muncul sebelum terjadinya perang dingin tahun 1920-an dibantu oleh pemerintah komunis baru di Moskow (Sutopo, 2009). Namun begitu, di tahun 1949 pengaruh komunis meningkat pada awal Perang Dingin dan awal pemerintahan Mao Zedong. Pengaruh Uni Soviet di awal pemerintahan Mao, terlihat setelah terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dimana Uni Soviet memberikan pengakuan kedaulatan terhadap RRT dan memberikan bantuan ekonomi ke Tiongkok (Darini, 2010). Di samping itu, pengaruh Amerika Serikat juga telah muncul di Tiongkok masa pemerintahan Chiang Kai Shek melalui bantuan militer. Di tahun 1945, Kuomintang dipimpin oleh Chiang Kai Shek melakukan pembebasan Taiwan dari penjajahan Jepang dengan prajurit dan perwiranya menggunakan kapal-kapal Amerika Serikat (Sutopo, 2009). Setelah pembentukan Taiwan, Amerika Serikat juga meningkatkan pengaruhnya demi mempertahankan ideologinya di Asia Timur. Dalam upaya membatasi pengaruh komunis di kawasan Asia Timur, di tahun 1950 Amerika Serikat menempatkan armada kapalnya di selat Taiwan untuk menahan pengaruh komunis pada Perang Semenanjung Korea (Islami, 2013).
Dominasi kedua negara antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di Tiongkok, mengalami perubahan pada tahun 1950-an. Kematian Stalin pada tahun 1953 mengawali pergeseran hubungan Tiongkok dengan Uni Soviet mengarah ke Amerika Serikat. Sehingga menjadikan arah politik Tiongkok tidak lagi dengan kebijakan condong ke satu pihak atau lean to one side (Darini, 2010), dan memandang Amerika Serikat sebagai salah satu penentu araj kebijakan luar negeri Tiongkok. Hal ini dikarenakan pergantian pemerintahan Uni Soviet oleh Nikita Krushchev, membuat Mao mengubah arah kebijakan luar negerinya dengan membuat teori Tiga Dunia tahun 1974. Dalam teori Tiga Dunia, Uni Soviet dan Amerika Serikat termasuk di posisi negara dunia pertama (Hallang, n.d.). Dapat dikatakan bahwa, Uni Soviet dan Amerika Serikat merupakan musuh utama atau negara yang perlu diwaspadai dalam strategi perlawanan Tiongkok. Walaupun Uni Soviet menjadi musuh utama, namun Mao tetap memengang prinsip Marxisme-Leninisme dan Stalin dalam menjalankan kebijakan domestik Tiongkok.
Pasca ketegangan hubungan Tiongkok dan Uni Soviet, pada perkembangannya hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat mulai mengalami perbaikan dan peningkatan pada tahun 1970-an. Mao Zedong menciptakan hubungan rakyat Tiongkok dan rakyat Amerika Serikat dalam perundingan berskala RRT-AS (Republik Rakyat Tiongkok - Amerika Serikat) dengan perantara masing-masing Duta Besar di Warsawa (Darini, 2010). Hubungan ini berlanjut hingga kunjungan regu tenis meja RRT dan AS, yang dikenal sebagai diplomasi ping pong. Selain itu, pengaruh Amerika Serikat juga terlihat pada peristiwa Tiananmen tahun 1989, yaitu dengan melakukan pemberhentian hubungan diplomatik dengan pemerintah Tiongkok, dan menjadikan Tiongkok terisolasi dengan dunia internasional (Ardi, 2012). Hal ini terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia, dimana terjadi pembataian mahasiswa yang berunjuk rasa di lapangan Tiannanmen.

B.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, peneliti akan berusaha menjelaskan secara rinci terkait pertanyaan penelitian berikut, yaitu bagaimana dinamika hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat dari tahun 1972 – 1989?

BAB II
PEMBAHASAN



A.   Diplomasi Ping Pong Tahun 1972: Awal Hubungan Diplomasi Tiongkok dan Amerika Serikat
Peningkatan intensitas hubungan antara Tiongkok dan Amerika Serikat dimulai pada awal tahun 1970-an, dimana pada saat itu Tiongkok dipimpin oleh Mao Zedong dan Amerika Serikat dipimpin oleh Presiden Nixon. Pendekatan dalam hubungan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dilakukan melalui kebijakan re-approachment dan diresmikan ke dalam Shanghai Communique tahun 1972 (Wabiser, n.d.). Shanghai Communique merupakan dokumen diplomatik antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang berisi tujuan bersama kedua negara (Bao, n.d). Beberapa tujuan bersama Tiongkok dan Amerika Serikat dalam Shanghai Communique (Bao, n.d.), antara lain: (1) Pertukaran ilmu pengetahuan, budaya, olahraga, dan jurnalisme, serta memfasilitasi perkembangan progresif perdagangan antara kedua negara; (2) Mengecam bentuk hegemoni di kawasan Asia Pasifik oleh negara manapun; dan (3) Menunjukkan posisi Tiongkok dab Amerika Serikat terkait status politik Taiwan.
Sebelum Tiongkok dan Amerika Serikat membentukan Shanghai Communique, hubungan kedua negara tidak dalam keadaan yang baik. Dikarenakan ideology komunis Tiongkok yang perlu diwaspadai oleh Amerika Serikat. Namun setelah ketegangan antara Tiongkok dan Uni Soviet tahun 1960an, Amerika Serikat mengambil peluang tersebut untuk melakukan kerja sama dengan Tiongkok. Peristiwa yang mengawali hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat adalah kegiatan The 31th World Table Tennis Championships di Nagoya-Jepang tahun 1971 (Pradana, 2014). Berawal dari pembicaraan salah satu pemain dari Amerika Serikat – Glen Cowan dan salah satu pemain dari Tiongkok Zhang Zedong di dalam bus tim Tiongkok (Pradana, 2014). Pertemuan tersebut berlanjut dengan pertukaran hadiah antara Cowan dan Zedong. Hal inilah yang menjadikan kabar baik bagi hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok. Bagian terpentingnya adalah kedatangan presiden Nixon dan Kissinger dalam melihat pertandingan tim Tiongkok – Amerika Serikat yang dibuat oleh Tiongkok setelah pertandingan The 31th World Table Tennis Championships di Jepang. Oleh karena itu, peristiwa ini dikenal sebagai upaya diplomasi ping pong dalam dunia internasional.    
Pada tahun 1972, Presiden Richard Nixon mengunjungi Tiongkok atas undangan langsung dari Zhou Enlai. Pada Pertemuan tersebut, Presiden Nixon didampingi oleh Menteri Luar Negeri AS - William Rogers, Asisten Presiden - Dr. Henry Kissinger, dan pejabat Amerika lainnya. (Departement of State USA, 1972) Pertemuan ini juga membahas pandangan dari Mao Zedong dan Presiden Nixon terkait hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat. Kunjungan Amerika Serikat ke Tiongkok juga mendiskusikan tentang normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta beberapa isu lainnya diantara kedua negara (Departement of State USA, 1972). Pada 1 Januari 1979, normalisasi hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok diresmikan dengan sepakat saling mengakui satu sama lain dan berusaha membina hubungan diplomatik. Selain itu, Amerika Serikat juga mengakui kebijakan one china policy, dimana hanya ada satu Tiongkok dan keberadaan Taiwan merupakan bagian dari Tiongkok. Sebelumnya juga pada Oktober 1971, PBB telah mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara yang sah berkuasa di Tiongkok dan berhak untuk menjadi anggota PBB (Darini, 2010). Sebaliknya, keanggotaan Pemerintahan Nasionalis Tiongkok di Taiwan dibatalkan menjadi anggota PBB. Dari segi ekonomi hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok di tahun 1980 mengalami peningkatan dengan pemberian status Most Favoured Nation (MFN) oleh Amerika Serikat ke Tiongkok.
Terkait permasalahan Tiongkok dan Taiwan, hal ini membuat dinamika hubungan Amerika dan Tiongkok semakin bertambah. Pada tahun 1979, Amerika Serikat dan Taiwan mengesahkan Taiwan Relations Act (TAR). Melalui Taiwan Relations Act (TAR), Amerika Serikat menjalankan kebijakan, antara lain: (1) memelihara dan mengembangkan hubungan cultural, perdagangan dan lainnya secara eksklusif dan bersahabat di antara AS dan rakyat Taiwan; (2) mendeklarasikan perdamaian dan stabilitas di area kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi Amerika Serikat di area yang menjadi perhatia n internasional; (3) memperjelas masa depan Taiwan akan ditentukan dengan cara-cara damai; menganggap bahwa usaha-usaha yang menentukan masa depan Taiwan, selain cara-cara damai (termasuk boikot atau embargo) merupakan ancaman keamanan dan perdamaian bagi negara-negara Pasifik Barat dan merupakan ancaman keamanan dan perdamaian bagi negara-negara Pasifik Barat dan menjadi perhatian penting bagi AS; (4) menyediakan persenjataan defensive untuk Taiwan; (5) meyakinkan hak untuk melawan segala macam bentuk serangan atau koersi yang akan mengancam keamanan atau system ekonomi dan sosial rakyat Taiwan. Kebijakan tersebut telah melanggar Shanghai Communique point ke-11 (Anonymous. n.d), yakni:
The two sides reviewed the long-standing serious disputes between China and the United States. The Chinese side reaffirmed its position: the Taiwan question is the crucial question obstructing the normalization of relations between China and the United States; the Government of the People's Republic of China is the sole legal government of China; Taiwan is a province of China which has long been returned to the motherland; the liberation of Taiwan is China's internal affair in which no other country has the right to interfere; and all US forces and military installations must be withdrawn from Taiwan. The Chinese Government firmly opposes any activities which aim at the creation of "one China, one Taiwan", "one China, two governments", "two Chinas", an "independent Taiwan" or advocate that "the status of Taiwan remains to be determined".”
Poin-poin kebijakan Amerika Serikat dalam TAR tidak seharusnya melakukan intervensi terhadap Taiwan, dimana pembebasan Taiwan adalah urusan internal Tiongkok dan tidak ada negara lain yang memiliki hak untuk intervensi. Kemudian dengan menyediakan persenjataan defensive untuk Taiwan telah jelas melanggar Shanghai Communique, dimana seharusnya semua pasukan Amerika Serikat dan instalasi militer harus ditarik dari Taiwan. Hal tersebut yang menjadikan hubungan diantara kedua negara mengalami ketegangan kembali, karena pengakuan terhadap prinsip one china policy oleh AS bertolak belakang dengan perjanjian TAR.

B.   Peristiwa Tiananmen Tahun 1989: Pemutusan Hubungan Diplomasi Tiongkok dan Amerika Serikat
            Peristiwa Tiananmen tahun 1989, telah memutuskan hubungan diplomasi Amerika Serikat dan Tiongkok yang baru saja membaik di tahun 1970-an. Berawal dari kematian Hu Yaobang tahun 1989, yang merupakan seorang pemimpin dari partai Komunis Tiongkok tahun 1981-1982. Kematian Hu Yaobang menimbulkan simpati rakyat, khususnya mahasiswa, dengan melakukan demonstrasi atau uncuk rasa di lapangan Tiananmen dan beberapa wilayah Tiongkok lainnya. Demostrasi ini berlanjut untuk memprotes terhadap ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik Tiongkok dan pernyataan pro terhadap demokrasi. Keberlanjutan demonstrasi massal tersebut Tiongkok menimbulkan keputusan pemerintah Tiongkok untuk mengeluarkan kekuatan militer bersenjata. Hal ini dilakukan untuk memberhentikan demonstrasi dan perbedaan pendapat dari rakyat Tiongkok terhadap pemerintah. Namun keputusan tersebut berakhir pada pembantaian sekitar 3000 orang lebih di lapangan Tiananmen. Tindakan pemerintah Tiongkok dalam melakukan pembantaian dengan militer bersenjata, telah mengejutkan Amerika Serikat dan Dunia Internasional. Pada tahun 1989, pemerintahan Amerika Serikat diduduki oleh George H. W. Bush. Pada peristiwa Tiananmen ini, Bush melakukan sikap terhadap Tiongkok atas pelanggaran HAM. Namun di samping itu, pemerintah Tiongkok berpendapat bahwa hak asasi manusia mencakup kepuasan hidup dan kemajuan ekonomi., dimana kemajuan ekonomi dan kepuasan hidup rakyatnya merupakan indikator peningkatan hak asasi manusia (Prasetya, 2013).
            Tindakan awal Bush adalah dengan mengirimkan National Security Adviser Brent Scowcroft and Deputy Secretary of State Lawrence Eagleburger. Kemudian juga Bush berusaha mengambil sikap keras dalam isu-isu perdagangan, salah satunya kepastian status Most Favoured Nation Tiongkok (Sutter, 2006). Tindakan selanjutnya, Bush memberhentikan sementara penjualan persenjataan dan militer ke Tiongkok (Wabister, n.d.). Pada 28 Mei 1993, pada masa William Clinton melalu kongres dan isu Executive Order 128590 menghubungkan pembaruan status MFN Tiongkok dengan tujuh kondisi yang terkait dengan isu HAM. Namun pada 26 Mei 1994 dengan kompromi yang dilakukan oleh pemerintahan Clinton, akhirnya status MFN tetap diberikan kepada Tiongkok tanpa dikaitkan dengan isu HAM. Ada beberapa alasan kenapa pemberian status MFN terus diberikan kepada Tiongkok tanpa dikatkan dengan isu HAM (Sutter, 2006), antara lain: (1) disebabkan oleh tuntutan dari kelompok kepentingan; (2) Keberhasilan kelompok kepentingan bisnis dalam mempengaruhi suara kongres dan presiden; dan (3) pembentukkan konstitusi di AS yang di dominasi oleh kelompok pragmatisme ekonomi.
            Sikap Amerika Serikat terhadap Tiongkok tersebutlah telah menaikkan ketegangan hubungan diantara kedua negara. Ditambah perjanjian Taiwan Relations Act (TAR) yang bukan hanya melanggar Shanghai Communique namun juga telah mempersulit Tiongkok dalam mencapai kebijakan One China Police. Akibat dari ketegangan hubungan antara Tiongkok dan Amerika Serikat, pada tahun 1989 hubungan Rusia (dulunya Uni Soviet sebelum keruntuhan di tahun 1991) dan Tiongkok mulai dinormalisasi ketika pemerintahan Mikhail Gorbachev. Pada saat itu, Gorbachev mengunjungi Tiongkok untuk menjalin kembali hubungan antara kedua negara untuk mengakhiri konfrontasi terbuka 30 tahun antara kedua negara (Meitasari, 2013). Pergeseran fokus hubungan antara Tiongkok – Amerika Serikat ke hubungan Tiongkok – Rusia, telah menyebabkan perubahan kebijakan luar negeri Tiongkok dan Amerika Serikat itu sendiri. Momentum pergeseran arah kebijakan luar negeri Tiongkok dan Amerika Serikat, bukan hanya ketika peristiwa Tiananmen namun juga ditambah dengan keruntuhan Uni Soviet.
            Pengurangan ancaman komunis akibat dari keruntuhan Uni soviet tersebut, menjadikan fokus Amerika Serikat tidak lagi tertuju pada hubungan dengan baik dengan Tiongkok. Hal ini dikarenakan, pembendungan kekuatan komunis Tiongkok di kawasan Asia maupun Pasifik Barat tetap harus diawasi. Sebenarnya sebelum terjadinya peristiwa Tiananmen, hubungan Tiongkok – Amerika Serikat rentan konflik karena perbedaan sikap atas isu Taiwan. Pada pemerintahan Ronald Reagan (1981-1989), posisi Amerika Serikat cenderung juga mendukung Taiwan sebagai sebuah negara. Dalam bukunya Tucker (2009 diambil dari Mubah, n.d.), di tahun 1982 presiden ke-40 Amerika Serikat itu menegaskan bahwa:
“The United States... had not agreed to set a date for ending arms sales to Taiwan... had not agreed to hold prior consultations with the Chinese on arms sales to Taiwan... would not play any mediation role between Taiwan and Beijing... had not agreed to revise the Taiwan Relations Act... had not altered its position regarding sovereignty over Taiwan... would not exert pressure on taiwan to enter into negotiations with the Chinese”

Pengakuan Amerika Serikat atas kedaulatan Taiwan dan tetap meneruskan penjualan senjata dengan Taiwan memberikan respon tegas terhadap pergeseran ara hubungan Tiongkok di tahun 1989. Intervensi Amerika Serikat terhadap isu Tiananmen dan terhadap Taiwan, merupakan momentum yang mengawali ketegangan hubungan kedua negara setelah normalisasi hubungan yang dilakukan tahun 1979. Hal ini juga dapat dikatakan, bahwa hubungan baik Tiongkok dengan Amerika Serikat hanya berlangsung kurang lebih 10 tahun atau sekitar 15 tahun setelah ditandatanganinya Shanghai Communique.

BAB III
PENUTUP


Perang Dingin telah membawa pengaruh besar bagi Tiongkok dalam menentukan arah kebijakan domestiknya dan kebijakan luar negerinya. Di awal pemerintahan Mao Zedong, arah kebijakan domestiknya adalah Uni Soviet atau lebih pada paham marxisme-leninisme dan Stalin. Namun, setelah kematian Stalin tahun 1953 dan naiknya Kurshchev, telah merubah arah kebijakan luar negeri Tiongkok, yang mengarah juga ke Amerika Serikat. Dinamika hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok di awali pada tahun 1970-an, dimana adanya pertemuan kedua pemain Tiongkok dan Amerika Serikat, yakni Zhang Zedong dan Glen Cowan, yang berlanjut dengan pertemuan antara Mao Zedong dan Presiden Nixon. Namun, hubungan ini mengalami ketegangan ketika terjadi pelanggaran HAM yang terjadi di lapangan Tiananmen di Tiongkok. Beberapa sikap yang diambil pemerintah Amerika Serikat adalah dengan pemberhentian sementara penjualan senjata militer ke Tiongkok, pemikiran terhadap kepastian status MFN Tiongkok, dan pengiriman National Security Adviser Brent Scowcroft and Deputy Secretary of State Lawrence Eagleburger.

DAFTAR PUSTAKA


A.   Buku
Gilpin, Robert dan Jeans Millis Gilpin. (2002). Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad Ke-21. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sutter, G. Robert. (2006). Historical Dictionary of United States-China Relations. UK: Scarecrow Press, Inc.
Sukarnaprawira, Aa Kustia. (2009). China Peluang atau Ancaman. Jakarta : Restu Agung
Sutopo, FX. (2009). China: Sejarah Singkat. Jogjakarta: Garasi
Winarno, Budi. (2005). Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tajidu Press

B.   Jurnal
Ansharullah, Paladin. (2009). Faktor-Faktor Penyebab Intervensi Militer Rusia terhadap Georgia Tahun 2008. Depok: Universitas Indonesia
Ardi, Mindo Stevi. (2012). Analisa Kepentingan Ekonomi-Politik Amerika Serikat Di Balik Defisit Perdagangan dengan China. Depok: Universitas Indonesia
Darini, Ririn. (2010). Garis Besar Sejarah China Era Mao. Jogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Islami, Fahmi.. (2013). Kebijakan Luar Negeri Taiwan Di Bawah Presiden Ma  Ying –Jeou (2008-2012) Di Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Identitas dalam Hubungan Antar Selat. Depok: Universitas Indonesia
Meitasari, Bella Nur. (2013).  Kebijakan Perdagangan Senjata Rusia terhadap Cina Tahun (2006-2012). Surabaya: Universita Airlangga
Prasetya, Eka. (2013). Agresitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina dalam Sengketa Perbatasan Di Kawasan Asia Pasifik. Medan: Universitas Sumatera Utara

C.   Jurnal Internet
Bao, Erik. (n.d). Ping Pong Diplomacy: The Historic Opening of Sino – American Relations During The Nixon Administration.
https://www.ohiohistory.org/File%20Library/Education/National%20History%20Day%20in%20Ohio/Nationals/Projects/2011/Bao.pdf
Departement of State USA. (1972). Foreign Relations of The United States 1969-1976, Volume XVII, China, 1969-1972, Document 203.
https://history.state.gov/historicaldocuments/frus1969-76v17/d203
Hallang, Andi. (n.d). Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/Pola_Kebijakan_Luar_Negeri_Cina.pdf
Mubah, A. Safril. (n.d). Kajian Historis atas Kompleksitas Isu Taiwan dalam Hubungan China dan Amerika Serikat.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jgsf2c5357a47full.pdf
Prasetya, Dion Maulana/. (n.d). Strategi Defensif China dalam Merespon Kebijakan Amerika Serikat atas Taiwan.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/view/1147
Wabiser, Yosias M. A. (n.d). The SINO-US Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China Policy
https://www.ojs.unud.ac.id/index.php/hi/article/download/16371/10674

D.   Sumber Lain
Anonymous. (n.d). Joint Communique of the United States of America and the People's Republic of China (Shanghai Communique).
http://www.china.org.cn/english/china-us/26012.htm#

Lampiran 1

Joint Communique of the United States of America and the People's Republic of China (Shanghai Communique)
Sumber: www.china.org.cn

February 28, 1972

1.   President Richard Nixon of the United States of America visited the People's Republic of China at the invitation of Premier Chou En-lai of the People's Republic of China from February 21 to February 28, 1972. Accompanying the President were Mrs. Nixon, US Secretary of State William Rogers, Assistant to the President Dr. Henry Kissinger, and other American officials.

2.   President Nixon met with Chairman Mao Tsetung of the Communist Party of China on February 21. The two leaders had a serious and frank exchange of views on Sino-US relations and world affairs.

3.   During the visit, extensive, earnest and frank discussions were held between President Nixon and Premier Chou En-lai on the normalization of relations between the United States of America and the People's Republic of China, as well as on other matters of interest to both sides. In addition, Secretary of State William Rogers and Foreign Minister Chi Peng-fei held talks in the same spirit.

4.   President Nixon and his party visited Peking and viewed cultural, industrial and agricultural sites, and they also toured Hangchow and Shanghai where, continuing discussions with Chinese leaders, they viewed similar places of interest.

5.   The leaders of the People's Republic of China and the United States of America found it beneficial to have this opportunity, after so many years without contact, to present candidly to one another their views on a variety of issues. They reviewed the international situation in which important changes and great upheavals are taking place and expounded their respective positions and attitudes.

6.   The Chinese side stated: Wherever there is oppression, there is resistance. Countries want independence, nations want liberation and the people want revolution--this has become the irresistible trend of history. All nations, big or small, should be equal: big nations should not bully the small and strong nations should not bully the weak. China will never be a superpower and it opposes hegemony and power politics of any kind. The Chinese side stated that it firmly supports the struggles of all the oppressed people and nations for freedom and liberation and that the people of all countries have the right to choose their social systems according their own wishes and the right to safeguard the independence, sovereignty and territorial integrity of their own countries and oppose foreign aggression, interference, control and subversion. All foreign troops should be withdrawn to their own countries. The Chinese side expressed its firm support to the peoples of Viet Nam, Laos and Cambodia in their efforts for the attainment of their goal and its firm support to the seven-point proposal of the Provisional Revolutionary Government of the Republic of South Viet Nam and the elaboration of February this year on the two key problems in the proposal, and to the Joint Declaration of the Summit Conference of the Indochinese Peoples. It firmly supports the eight-point program for the peaceful unification of Korea put forward by the Government of the Democratic People's Republic of Korea on April 12, 1971, and the stand for the abolition of the "UN Commission for the Unification and Rehabilitation of Korea". It firmly opposes the revival and outward expansion of Japanese militarism and firmly supports the Japanese people's desire to build an independent, democratic, peaceful and neutral Japan. It firmly maintains that India and Pakistan should, in accordance with the United Nations resolutions on the Indo-Pakistan question, immediately withdraw all their forces to their respective territories and to their own sides of the ceasefire line in Jammu and Kashmir and firmly supports the Pakistan Government and people in their struggle to preserve their independence and sovereignty and the people of Jammu and Kashmir in their struggle for the right of self-determination.
7.   The US side stated: Peace in Asia and peace in the world requires efforts both to reduce immediate tensions and to eliminate the basic causes of conflict. The United States will work for a just and secure peace: just, because it fulfills the aspirations of peoples and nations for freedom and progress; secure, because it removes the danger of foreign aggression. The United States supports individual freedom and social progress for all the peoples of the world, free of outside pressure or intervention. The United States believes that the effort to reduce tensions is served by improving communication between countries that have different ideologies so as to lessen the risks of confrontation through accident, miscalculation or misunderstanding. Countries should treat each other with mutual respect and be willing to compete peacefully, letting performance be the ultimate judge. No country should claim infallibility and each country should be prepared to reexamine its own attitudes for the common good. The United States stressed that the peoples of Indochina should be allowed to determine their destiny without outside intervention; its constant primary objective has been a negotiated solution; the eight-point proposal put forward by the Republic of Viet Nam and the United States on January 27, 1972 represents a basis for the attainment of that objective; in the absence of a negotiated settlement the United States envisages the ultimate withdrawal of all US forces from the region consistent with the aim of self-determination for each country of Indochina. The United States will maintain its close ties with and support for the Republic of Korea; the United States will support efforts of the Republic of Korea to seek a relaxation of tension and increased communication in the Korean peninsula. The United States places the highest value on its friendly relations with Japan; it will continue to develop the existing close bonds. Consistent with the United Nations Security Council Resolution of december 21, 1971, the United States favors the continuation of the ceasefire between India and Pakistan and the withdrawal of all military forces to within their own territories and to their own sides of the ceasefire line in Jammu and Kashmir; the United States supports the right of the peoples of South Asia to shape their own future in peace, free of military threat, and without having the area become the subject of great power rivalry.
8.   There are essential differences between China and the United States in their social systems and foreign policies. However, the two sides agreed that countries, regardless of their social systems, should conduct their relations on the principles of respect for the sovereignty and territorial integrity of all states, non-aggression against other states, non-in-terference in the internal affairs of other states, equality and mutual benefit, and peaceful coexistence. International disputes should be settled on this basis, without resorting to the use or threat of force. The United States and the People's Republic of China are prepared to apply these principles to their mutual relations.

9.   With these principles of international relations in mind the two sides stated that:
a)    progress toward the normalization of relations between China and the United States is in the interests of all countries
b)    both wish to reduce the danger of international military conflict
c)    neither should seek hegemony in the Asia-Pacific region and each is opposed to efforts by any other country or group of countries to establish such hegemony
d)    neither is prepared to negotiate on behalf of any third party or to enter into agreements or understandings with the other directed at other states.

10.   Both sides are of the view that it would be against the interests of the peoples of the world for any major country to collude with another against other countries, or for major countries to divide up the world into spheres of interest.

11.   The two sides reviewed the long-standing serious disputes between China and the United States. The Chinese side reaffirmed its position: the Taiwan question is the crucial question obstructing the normalization of relations between China and the United States; the Government of the People's Republic of China is the sole legal government of China; Taiwan is a province of China which has long been returned to the motherland; the liberation of Taiwan is China's internal affair in which no other country has the right to interfere; and all US forces and military installations must be withdrawn from Taiwan. The Chinese Government firmly opposes any activities which aim at the creation of "one China, one Taiwan", "one China, two governments", "two Chinas", an "independent Taiwan" or advocate that "the status of Taiwan remains to be determined".

12.   The US side declared: The United States acknowledges that all Chinese on either side of the Taiwan Strait maintain there is but one China and that Taiwan is a part of China. The United States Government does not challenge that position. It reaffirms its interest in a peaceful settlement of the Taiwan question by the Chinese themselves. With this prospect in mind, it affirms the ultimate objective of the withdrawal of all US forces and military installations from Taiwan. In the meantime, it will progressively reduce its forces and military installations on Taiwan as the tension in the area diminishes. The two sides agreed that it is desirable to broaden the understanding between the two peoples. To this end, they discussed specific areas in such fields as science, technology, culture, sports and journalism, in which people-to-people contacts and exchanges would be mutually beneficial. Each side undertakes to facilitate the further development of such contacts and exchanges.

13.   Both sides view bilateral trade as another area from which mutual benefit can be derived, and agreed that economic relations based on equality and mutual benefit are in the interest of the peoples of the two countries. They agree to facilitate the progressive development of trade between their two countries.

14.   The two sides agreed that they will stay in contact through various channels, including the sending of a senior US representative to Peking from time to time for concrete consultations to further the normalization of relations between the two countries and continue to exchange views on issues of common interest.

15.   The two sides expressed the hope that the gains achieved during this visit would open up new prospects for the relations between the two countries. They believe that the normalization of relations between the two countries is not only in the interest of the Chinese and American peoples but also contributes to the relaxation of tension in Asia and the world.

16.   President Nixon, Mrs. Nixon and the American party expressed their appreciation for the gracious hospitality shown them by the Government and people of the People's Republic of China.
  

thanks for:
MACHFUZ HAMBALI  
SUWARDI RIZKI           
CITRA TRIBUANA DEWI 
NURINDAH SARI               
AHMAD SIDDIQ                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages